Saturday, January 5, 2013

Kesenangan dan Kemuliaan Hidup di Puncak Penulisan


Di Bukit Penulisan, Desa SuKawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli Terdapat sebuah pura yang indah yang yang sering disebut Pura Puncak Penulisan. Pura ini letaknya di Puncak Bukit Penulisan. Pura Puncak Penulisan dimasukkan kedalam cagar budaya, berhubung banyaknya peninggalan pada zaman megaliticum yang ditemukan disana. Pura ini juga sering disebut dengan Pura Tegeh Koripan.

Tiba-tiba timbul dalam pikiran untuk mengulas kata-kata yang ada disana. Pasti leluhur terdahulu tidak sekedar membuat nama, dan mungkin ada yang ingin disampaikan lewat pesan-pesan yang tersembunyi, yang mengharuskan penerusnya untuk menterjemahkan.

Kenapa Pura Tegeh Koripan ini berada di Desa Sukawana, pasti ini ada sebab musababnya. SukaWana berasal dari kata "suka" dan "wana", "suka"= suka, kesenangan, sedangkan "wana" berarti Keinginan. Dapat ditafsirkan sebagai keinginan yang senang atau keinginan akan hidup yang senang.

Sedangkan Tegeh Koripan dapat di artikan : "tegeh" = tinggi, "koripan"= kehidupan. Jadi Tegeh koripan dapat diartikan kehidupan yang tinggi, kehidupan yang mulia.

Pelajaran yang hendak disampaikan disini adalah pemenuhan kehidupan materi terlebih dahulu sehingga dapat hidup dengan senang (kebahagian didunia), selanjutkan perlahan lahan meningkat seperti menaiki anak tangga yang berada di Pura Tegeh koripan ini menuju ke kehidupan yang tinggi/kehidupan yang mulia.

Dihubungkan dengan Puncak Penulisan, Penulisan yang berasal dari kata "Tolih" yang artinya melihat, dimaksudkan ketika sudah mencapai dipuncak akan dapat melihat dan menyadari tentang kesenangan dunia dan kemuliaan hidup.

Dan tentu saja hasil perenungan akan kesadaran ini merupakan permata pikiran. Karena Kintamani ini sendiri berarti permata pikiran.




Friday, January 4, 2013

Siwa Ratri, Yang Disembunyikan Dalam Pemburu Masuk Sorga


Hari Raya Siwa Ratri sudah dekat, berhubung mengetahui cerita Siwa Ratri dari buku bacaan ketika masih sekolah dulu yang hanya memuat garis besarnya saja  dan tidak pernah membaca lontarnya jadi sedikit saja bisa dimengerti dan diketahui dari makna siwa ratri ini yang merupakan Maha karya Mpu Tanakung yang bersembunyi dibalik nama samaran. Mpu=pendeta, pengayom/pengasuh, brahmana sedangkan Tan = Tidak, dan kata Akung= menikah/kawin. Jadi Mpu Tanakung Brahmana Yang tidak menikah/kawin.
Hal umum diketahui Siwa Ratri adalah malam Pemujaaan Siwa dengan landasan cerita Sang Pemburu yang masuk sorga. Rasanya Gampang sekali masuk sorga dengan begadang saja dapat masuk sorga seperti yang dilakukan oleh Lubdaka, apakah semudah itu?  Hal ini cocok untuk dipakai sebagai alat untuk memotivasi agar banyak yang ikut melaksanakan Brata/pemujaaan Siwa Ratri.

Setelah bergaul dengan orang -orang yang lebih tahu, lebih mumpuni atau orang yang begelut di bidang itu,  sedikit tidaknya didapatlah informasi yang mengupas sisi yang disembunyikan dari cerita Siwa Ratri karena menggunakan kata yang mempunyai banyak arti dengan ejaan dan lafal yang sama/ banyak arti kiasan. Akhirnya saya beranikan diri untuk sedikit menulis tentang Siwa Ratri ddengan pengetahuan yang terbatas sehingga ikut meramaikan tulisan yang sudah ada sebelumnya.

Diceritakan disini tentang seorang pemburu yang bernama Lubdaka (lubdaka = pemburu) yang bertempat tinggal di Gunung. Dalam yoga yang mencari jati diri, Hati simbolkan sebagai gunung. Jadi pemburu yang tinggal di gunung dimaksudkan adalah Kehendak Hati.

Lubdaka berburu binatang/satwa di hutan. Lalu apa hubungan kehendak hati dengan binatang dihutan. Ini sudah mulai proses dari hati kepikiran. Satwa yang berarti binatang juga mempunyai arti sebagai sifat baik (sattwam), jadi berkehendak hati untuk memunculkan sifat yang baik. Apakah sifat baik ini munculnya di hutan? tentu saja tidak, wana dalam bahasa sansekerta berarti hutan, selain itu juga berarti keinginan. Seperti kata Nirwana, Nir = tidak, Wana= keinginan, Tanpa keinginan alias moksa.
Oleh karena itu, maka maksud yang tersirat adalah berkehendak hati untuk memunculkan sifat yang baik sehingga mempunyai pikiran yang baik. Dari berbagai keinginan yang ada hendaklah dipilih/diburu pikiran yang baik saja.

Lubdaka berburu binatang pada hari keempat belas bulan ketujuh (panglong ping pat belas ke pitu) yang merupakan hari yang terbaik untuk memuja siwa. Bulan ketujuh sering ditafsirkan sebagai tujuh kegelapan bathin yang disebut "Sapta Timira" sehingga ketika sedang mengalami kegelapan bathinlah dengan memuja Siwa dapat dibebaskan dari kegelapan bathin.

Perburuan Ludhaka yang tidak menemukan binatang yang boleh dikatakan sia-sia hingga terdampar disebuah danau yang ada lingga siwanya. Hal ini merupakan simbol dari  meditasi yang memakai teknik mengosongkan keinginan dan membiarkan Siwa didalam diri yang telah dilinggihkan oleh Guru bergerak sendirinya tanpa memusatkan pikiran pada obyek tertentu hingga menemukan jati diri, yang terdapat didalam padma hredaya yang tersembunyi dibelakang anahata cakra yang ada di daerah dada.

Berhubung hari menjadi malam  dan gelap, agar tidak dimakan binatang buas, maka Lubdaka naik ke "pohon bila" dan untuk mencegah ngantuk / tetap sadar agar tidak terjatuh maka dipetiklah "daun bila" tersebut dan pada saat habis daunnya hadirlah Siwa memberikan Dashannya/berkahnya..

Begitu pula jika kegelapan mulai datang, hendaklah pikiran dinaikkan menuju Ketuhanan / Sahasrara Cakra, sehingga tidak dipengaruhi oleh pikiran buruk. Agar kesadaran tetap terjaga maka tidak henti-hentinya belajar ajaran Siwa  seperti Lubdaka memetik Daun Bila hingga pelajaran tersebut tuntas dan Nantinya akan bersatu dengan Siwa Itu sendiri.